Membaca berita kematian Partahi Mamora Halomon L. (34) yang menjadi salah satu korban penembakan brutal mahasiswa asal Korea Selatan di Universitas Virginia Tech, Amerika Serikat, beberapa waktu lalu membuktikan bahwa kekerasan dalam dunia pendidikan tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi Negara sekaliber Amerika pun yang merupakan Negara lahirnya demokrasi, ternyata digerogoti oleh fenomena ini. Semakin maraknya tindak kekerasan dalam dunia pendidikan membuat seluruh elemen masyarakat menjadi resah dan gelisah. Bagaimana tidak, tindakan tersebut telah menelan korban yang tidak sedikit. Tindak kekerasan dalam dunia pendidikan yang akhir-akhir ini gencar dibicarakan dalam masyarakat adalah kasus tindak kekerasan yang terjadi di kampus IPDN. Tindak kekerasan terhadap para calon pamong praja di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) bagaikan fenomena gunung es yang menggerogoti dunia pendidikan kita. Kematian Cliff Muntu, praja asal Sulawesi Utara, pun bukan satu-satunya korban kekerasan dalam lembaga ini. Pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan timbulnya kekerasan dalam dunia pendidikan? Menurut Jack D. Douglas dan Frances Chalut Waksler, istilah kekerasaan (violence) dipakai untuk menggambarkan tindakan atau perilaku, baik secara terbuka (over) maupun tertutup (covert) dan baik yang sifatnya menyerang (offensive) maupun bertahan (defensive), yang diikuti dengan penggunaan kekuatan fisik terhadap orang lain. Dari definisi di atas, kita dapat menarik beberapa indikator kekerasan: pertama, kekerasan terbuka, yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain yang dapat dilihat dan diamati secara langsung, seperti perkelahian, tawuran, bentrokan massa, dan yang berkaitan dengan tindakan fisik lainnya. Kedua, kekerasan tertutup, yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain secara tersembunyi, seperti mengancam dan intimidasi. Ketiga, kekerasan agresif, yaitu kekerasan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain dengan tujuan mendapatkan seseuatu, seperti perampokan, pemerkosaan, dll. Ketiga indikator kekerasan di atas selalu menjadi langganan dalam dunia pendidikan kita saat ini. Kekerasan tidak pernah diinginkan oleh siapapun, apalagi di lembaga pendidikan yang sepatutnya menyelesaikan masalah secara edukatif. Namun tak bisa dihindari, di lembaga ini ternyata masih sering terjadi tindakan yang sifatnya destruktif. Dalam melihat fenomena ini, terdapat beberapa analisa yang dapat diajukan untuk mencermati pemicu terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan. Pertama, kekerasan dalam dunia pendidikan muncul akibat adanya pelanggaran yang disertai dengan hukuman terutama berupa hukuman fisik. Kedua, kekerasan dalam dunia pendidikan bisa terjadi akibat buruknya sistem dan kebijakan dunia pendidikan yang berlaku. Substansi kurikulum dunia pendidikan di negeri ini ternyata lebih mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan aspek pendidikan yang efektif sehingga proses humanisasi dalam pendidikan menjadi sesuatu yang jauh dari harapan. Ketiga, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan tayangan media massa yang sarat dengan aksi-aksi kekerasan. Keempat, kekerasan dalam pendidikan merupakan cerminan dalam perkembangan kehidupan masyarakat kita yang mengalami transformasi begitu cepat sehingga membuka ruang bagi timbulnya sikap instant solution. Kelima, kekerasan dalam pendidikan dipengaruhi oleh latar belakang sosial-ekonomi pelaku. Selain itu, tumbuh da berkembangnya kekerasan dalam dunia pendidikan juga terjadi karena sistem yang telah melembaga, artinya kekerasan telah menjadi suatu cultur organisasi dalam lembaga pendidikan. Tesis ini dapat dapat kita buktikan dengan melihat fenomena yang terjadi di IPDN. Reformasi birokrasi yang akan dilakukan oleh pemerintah setelah mendengar hasil dari tim evalusai yang dibentuk tidak akan berhasil apabila cultur ini masih tetap dipertahankan. Semakin merajalelanya irasionalitas dalam bentuk kekerasan dalam pendidikan, menunjukkan kelemahan sistem pendidikan kita. Kelemahan sistem ini terjadi karena lemahnya kepemimpinan dalam lembaga tersebut. Lemahnya kepemimpinan diakibatkan oleh tidak jelasnya visi pendidikan kita. Jika keadaan ini terus berlangsung, maka perilaku dan tindak kekerasan dalam pendidikan tidak dapat diretas. Agar perilaku kekerasan dalam pendidikan dapat diretas, maka harus ada visi pendidikan yang jelas dan sistem pendidikan yang terbuka atas kontrol publik. Mayarakat mempunyai hak untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan dan pembinaan dalam lembaga pendidikan. Untuk menciptakan lembaga pendidikan yang terbuka atas control public dibutuhkan dua syarat. Pertama, dibutuhkan figur pemimpin berkarakter yang mempunyai visi pendidikan yang jelas dan dapat menciptakan struktur dan kultur pendidikan yang sehat. Kedua, setiap lembaga pendidikan harus mempertanggungjawabkan kinerjanya terhadap pemangku kepentingan,yaitu orangtua dan masyarakat.l Humanisasi Pendidikan Mengingat bahwa pendidikan adalah ilmu normatif, maka fungsi institusi pendidikan adalah menumbuhkan etika dan moral subjek didik ke tingkat yang lebih baik dengan cara atau proses yang baik pula serta dalam konteks positif. Adanya beberapa bentuk kekerasan dalam pendidikan yang masih merajalela merupakan indikator bahwa kegiatan pendidikan kita masih jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Disinilah urgensi humanisasi pendidikan. Humanisasi pendidikan merupakan upaya untuk menyiapkan generasi bangsa yang cerdas nalar, cerdas emosional, dan cerdas spiritual, bukan malah menciptakan individu-individu yang berwawasan sempit, tradisional, pasif, dan tidak mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi. Perilaku kekerasan pada dasarnya adalah insting primitf manusia untuk bertahan hidup dan menunjukan kekuatan dan kekuasaan serta sebagai saluran ekspresi dan emosi yang terpendam. Hal inilah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini sehingga terjadi dekadensi kemanusiaan. Tim evaluasi yang dibentuk oleh presiden diharapkan dapat menghumanisasi kembali dunia pendidikan kita. |